Loading

Monday, December 21, 2009

begitu hebatkah Pasal 27 Ayat 3 UU ITE

.hhmmm...
apa yah..
akhir-akhir ini pemberitaan di media marak menayangkan permasalahan dengan latar belakang "Pasal 27 Ayat 3 UU ITE". Saya jadi heran, seberapa hebatnya sih UU itu ?!
dari mulai kasus ibu Prita sampai yang baru-baru ini, yaitu kasus artis Luna Maya.
di satu sisi saat orang lain "KORBAN" didukung, tapi di sisi lain saat ikut tercebur menjadi ke dalam "MASALAH" yang sama malah "MERAH" telinga. Apalagi itu awak media yang seharus nya menganut paham "KEBEBASAN" dalam ber-pendapat dan ber-ekspresi.
Lha wong sampeyan semua ketika membuat berita dan berekspresi sedikit di batasi saja sudah mencak-mencak demo sana-sini, menggalang dukungan demi "KEBEBASAN BER-EKSPRESI dan BER-PENDAPAT".
ehh... ini ada orang koment dengan meng-ekspresikan kemarahannya malah jadi masalah.
malah di besar-besarkan pula..
Lebay amat.
Soal omongan bisa masuk bui.
hadehh... ~_~
Konsekuen donk boz..
Kenapa ga anda-anda saja yang mengajukan diri masuk bui karena telah "MENGGANGGU PRIVACY" orang.
Ga mungkin to, pasti seribu satu alasan akan anda buat untuk menyanggah itu.
coba anda pikir itu baik-baik, jangan asal "NGOMONG".
Anda itu "AWAK MEDIA" atau "PELAWAK" hukum ?!
saya jadi tergelitik ketika membaca posting dari teman saya..
Bener juga apa yang beliau tulis, mau baca ?!
sini saya copy kan saja [tapi saya sudah minta izin sama mpu nya dulu, biar ga kena UU juga].
Silahkan di baca.....

BEGIN :

Sebenarnya saya malas membahas masalah ini. Sederhana saja sih, urusan melankolis kok dipidanakan? Bangsa kita itu aneh, lebih suka ribut soal pencitraan ketimbang substansi. Seperti tidak ada hal yang lebih penting untuk di urus. Kasus Prita misalnya, semua orang memahami bahwa masalahnya adalah pelayanan kesehatan yang buruk, tetapi kok bukan justru konteks itu yang dibahas melainkan urusan tuduh menuduh hina menghina.

Manfaatnya itu apa meributkan pepesan kosong “pencemaran nama baik”? Toh orang itu tahu, masyarakat sosial punya memori, biar direhabilitir lewat iklan koran 7 turunan dan sidang gugatan 1000 kali, kalau suatu hal itu sampah ya tetep saja berbau busuk.

Sekarang ini orang atau institusi yang merasa dirinya selebritis dengan mudahnya main ancam, kriminalisasi setiap hal yang kontra atau kritik. Pasal itu sejatinya tidak mendidik orang untuk belajar jadi dewasa dalam mensikapi perubahan tata nilai dan budaya global di era informasi serba terbuka seperti sekarang ini. Tidak mengajak orang untuk berperilaku penuh adab modern sebagaimana jargon civil society. Apalagi di Internet yang merupakan ranah maya yang memiliki ukuran etik serta paradigma tersendiri yang memiliki perbedaan perspektif dengan dunia nyata. Di tengah masyarakat yang berpengetahuan seperti ini sudah seharusnya kata dibalas pula dengan kata, informasi dibantah dengan informasi. Bukan dengan menodongkan bedil atau pemenjaraan apalagi main denda yang memiskinkan.

Konon, seperti yang dijabarkan oleh pakar hukum dari Depkominfo, Kejaksaan Agung dan juga akademisi serta Depkumham pada sarasehan beberapa hari yang lalu: pasal melankolis ini ada karena sejalan dengan hak asasi tiap manusia yang patut dijaga kehormatan dan harga dirinya. Bahwa setiap kebebasan punya batas yaitu wilayah hak orang lain. Ketika kedua kepentingan itu bersinggungan, maka siapa yang merasa dirugikan memiliki hak untuk membela diri.

Dalam konteks itulah maka Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dan Pasal 310, 311 dan 312 KUHP masih tetap ada dan dipertahankan oleh Mahkamah Konstitusi walaupun sudah pernah digugat oleh banyak pihak (misalnya Dewan Pers yang wakilnya pada sarasehan malam itu begitu gegap gempita bersemangat membela kebebasan pers). Konon lagi, hebatnya, UU ITE itu justru lebih fair dibandingkan KUHP. Kenapa? Karena untuk dapat menggunakan UU ITE, maka para pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya harus bisa membuktikan 2 hal penting, yaitu unsur “adanya kesengajaan” serta “tanpa hak” dari pihak penyebar berita yang dianggap tidak benar dan mencemarkan tersebut. Ini belum termasuk pembuktian material adanya unsur material di dalam penyebaran berita itu yang bisa diintepretasikan sebagai tindakan “yang mencemarkan”.

Lalu intinya? Pusing. Hehehe …

To the point, Presiden Blogger yang juga menjadi salah satu pembicara spontan bereaksi, bahwa tindakan represi yang terjadi pada kasus Prita yang mengharu biru belakangan ini, telah menimbulkan kekhawatiran yang meluas dikalangan “vokalis gosip internet” a.k.a blogger yang mengaku merasa memiliki hak pula sebagai kontrol sosial untuk mengkritisi segala hal yang sekiranya patut dipolemikkan. Panelis lain langsung meng-counter bahwa profesi lain itu punya kode etik untuk menjaga perilaku komunitas itu agar tidak “bablas”, masalahnya, blogger itu bukan profesi sebagaimana misalnya pers, akan tetapi memiliki kekuatan yang mungkin bisa setara dengan industri media di dalam menyebarluaskan suatu “berita atau komentar yang bisa membentuk opini publik”. Dengan kata lain, inilah jurnalistik alternatif yang kerennya disebut citizen jurnalism. Masyarakat yang “men-jurnalis-kan” isi pikirannya di tengah komunitasnya sendiri. Hebatnya komunitas internet, jangkauannya bisa lebih luas dari media konvensional dan segala informasinya akan tersimpan abadi.

Yang kayak begitu mana ada dan mana bisa dibikin kode etiknya? Kalau para panelis yang sempat berpikir seperti itu jelas menunjukkan kalau mereka nggak paham Internet dan cara hidup, cara pandang, cara interaksi di dalamnya. Intinya budaya internet itu apa mereka gak paham. Singkat kata: GAPTEK.

Padahal itu baru ngomong soal perilaku blogger. Lha padahal sekarang sedang nge-trend Facebook. Lalu sedang ramai pula Plurk, Tweeter dlsb. Mungkin besok sudah ganti lagi. Ini diributkan soal milis, sementara ironisnya puluhan ribu dukungan justru sedang menyebar luas di jejaring sosial Facebook. Gimana? Mau dituntut juga?

Kok kurang kerjaan gitu loh.

Sementara kasus Prita yang diributkan masih seputar masalah penyebaran email keluhan lewat milis yang dalam pergaulan normal di internet adalah hal yang sungguh biasa. Sama biasanya dengan ketika anda sedang curhat di forum, blog, via chatting atau messenger conference bersama sejumlah kolega dan sahabat atau bahkan orang yang baru kenal. Memang begitu toh perilaku interaksi dan budaya yang berlangsung di internet?

Sama biasanya dengan jaman dulu ketika SI MBOK bergosip ria setelah selesai masak di siang bolong bersama jamaah ibu dan mbok tetangga di teras gubuknya sambil iseng cari kutu … apakah rasan-rasan, pergunjingan kelas emperan itu bakal diseret ke penjara juga? Padahal pasal 310, 311 dan 312 KUHP saat itu sudah berlaku juga. Yang digosipkan pun juga soal mashlahat ummat yang mempengaruhi seantero desa. Misalnya soal isu calon Pak Kades A yang ternyata punya simpenan janda anu. Walhasil semua bapak-bapak yang akan memilih dan mendukung Pak Kades A mendapatkan intimidasi psikologis dan seksual (hehehe) dari kaum simbok dan ibu-ibu jamaah pemburu kutu. Kok yang seperti ini nggak dipidanakan?

Mungkin karena bedanya si mbok nggak disorot kamera infotainment … paling tukang sayur yang jadi media penyebarluasan. Kalau mengacu UU ITE, kasihan betul si tukang sayur. Dia bisa dianggap “dengan sengaja menyebarluaskan berita bohong”. Mampus luh!

Kasus ini sungguh konyol menurut celetukan salah seorang pakar internet “gitu aja kok ditanggepin, kurang kerjaan betul”. Pendapat sang pakar ini sungguh benar. Kenapa? Ya karena kalau semua hal di internet ditanggapi semacam itu, maka penuhlah ruang sidang di negeri ini dengan urusan saling tuntut nama baik. Padahal sebenarnya namanya memang sudah busuk sejak dari sononya. Hehehe …

Nampaknya, kita semua harus lebih banyak belajar untuk memahami terlebih dahulu kayak apa sih sebenarnya paradigma, kebiasaan, budaya, perilaku, tata nilai di internet yang ciri khas utamanya antara lain : anonim, bebas, lintas batas, tidak terikat waktu dan cair serta terbuka. Hanya satu hal yang pasti di internet, yaitu segala sesuatu senantiasa berubah.

Harus kita akui bahwa tidak akan pernah ada satu rumusan hukum pun yang bisa menyaingi kecepatan perubahan di internet tersebut. Jadi jangan coba-coba terlalu memaksakan suatu ketentuan hukum di internet. Sebab hasilnya lebih sering: tidak berguna, gagal total. Contoh nyata, untuk suatu hal yang sudah sangat jelas hukumnya di luar negeri, di negara maju, di pusat internet dunia, yaitu hukum mengenai SPAM (email sampah). Ternyata sepanjang UU mengenai Anti SPAM diterapkan, ongkos pengusutan dibanding hasil pengungkapan kasus sungguh tidak berimbang. Sehingga daripada hukum ditegakkan lebih baik dibiarkan saja dan biarkan komunitas internet yang memutuskan bagaimana menanggulanginya.

Apakah memang bisa ditanggulangi? Ya, tentu saja bisa. Asalkan kita dewasa. Berita bohong (hoax) diperangi bukan hanya dengan cara filtering, tetapi juga menggunakan cara yang lebih baik yaitu menyampaikan informasi yang benar. Berita bohong, dilawan dengan berita yang benar. Informasi sesat dibalas dengan informasi akurat. Data disandingkan data. Itu cara berperang yang elegan di Internet. Sebab semua yang sudah tertulis di Internet abadi. Tidak mungkin kita terus-terusan kembali mengungkit masalah di masa lalu yang muncul lagi sekarang. Seperti kasus hoax pesan syech penjaga makam Rasulullah di Madinah.

Lagipula, secara etika komunitas internet punya mekanisme. Salah satunya dikenal dengan teknik pengucilan. Kalau seseorang sudah dikenal tidak memiliki integritas, suka berbohong atau menyebarkan fitnah, isu, ketidakjelasan, propaganda dsb. selain akan dikenakan sanksi netiket yang berlaku di setiap komunitas, yang bersangkutan juga bisa dikucilkan kelompok lain pula. Mungkin kita masih ingat ketika beberapa tahun yang lalu sejumlah milis IT di Indonesia ramai-ramai mengucilkan beberapa orang yang “cukup terkenal” karena perilaku mereka yang tidak taat netiket. Ini adalah contoh sanksi sosial di internet.

Atau, sebenarnya ada sanksi lain, yaitu secara teknis. Misalnya, ISP bisa mencabut ataupun membekukan suatu account email yang terbukti melakukan SPAM. Atau suatu account yang terdaftar di ISP melakukan suatu kegiatan yang bertentangan dengan UU (judi, pornografi, perdagangan narkoba dlsb.). Yang intinya, suatu resource di internet yang digunakan oleh pelaku, dapat sewaktu-waktu dihentikan oleh pemberi layanan karena alasan hukum dan etika. Dan pelaksanaan aturan ini tidak memerlukan campur tangan pengadilan karena lebih bersifat teknis dan telah disepakati oleh pengguna internet itu sendiri.

Seharusnya, kebiasaan, perilaku dan pensikapan ala civil society dan knowledge based society di internet semacam inilah yang harus ditonjolkan dan dikembangkan serta kalau bisa pemerintah turut membiasakan kepada masyarakat pengguna internet. bukan represi ala kriminalisasi email curhat Ibu Prita. Rasa keadilan masyarakat internet di Indonesia dengan sendirinya akan tersinggung. Ini keterlaluan.

Apapun fakta hukumnya menurut paradigma dan pandangan secara formal (yang tentu saja amat sangat ideal sehingga seolah semua orang adalah bak malaikat) tetap tidak akan bisa menghilangkan fakta dan persepsi bahwa seorang ibu yang lemah dan sedang mencoba menuntut haknya melalui media internet yang memang bersifat terbuka dengan tata nilai serta paradigma yang tidak dipahami oleh pelaku / praktisi hukum formal, telah dianiaya serta didzolimi oleh orang-orang yang tidak memiliki nurani (seolah kan begitu?).

Yang saya takutkan, kalau para pakar hukum masih berpikir dengan paradigma lama yang dipaksakan di ranah internet apalagi faktanya UU ITE ini sungguh terlambat diterapkan karena pembahasan bertele-tele selama 10 tahun dan disahkan ketika Facebook baru saja merebak dan Plurk serta Tweeter belum dikenal serta besok entah ada teknologi dan inovasi apa lagi? Sementara anak-anak kita lahir “ceprot” sudah dalam keadaan menggenggam PDA, Blackberry dan aneka teknologi lainnya yang semakin konvergen, melebur menjadi internet based. Mereka, generasi internet ini jelas nggak akan pernah bisa memahami paradigma “menjaga hak asasi kehormatan” seperti yang kini dianut para praktisi hukum yang sudah jenggotan, beruban serta menjelang pensiun yang menjadi panelis di acara sarasehan malam tersebut.

Celetukan teman di sebelah saya “wah ini diskusi angkatan tahun ‘45, jaman rekiplik”. Ya mungkin yang ada di pikirannya: “internet kok dibahas dengan paradigma jaman revolusi, kemerdekaan bahkan masih sempat pula diomongkan kalau KUHP ini warisan walondo”. Biuh. Di pikiran kita sudah barang tentu tergambar begitu jauh kesenjangan paradigma dan budayanya. Pantes salah kaprah seperti ini terus terjadi.

Anak-anak generasi internet akan sangat sulit meyakini paradigma yang buat mereka akan nampak sangat konyol bila dibandingkan kenyataan dan budaya interaksi yang mereka alami di internet sebagai suatu keseharian yang lumrah. Salah seorang teman anak saya (lahir pas bertepatan dengan tahun adanya layanan internet pertama di indonesia) berkata: om, orang ngomong jorok, menyebar berita bohong atau hoax dengan maksud bercanda atapun itu memang bermaksud buruk adalah hal yang biasa di internet. Sama biasanya dengan situs pornografi atau bandar judi online. Bukannya internet memang seperti itu? So, ya pinter-pinternya kita yang memanfaatkan internet lah untuk memilih, memilah dan mensikapinya secara proporsional. Jangan lebay. Gitu loh.

Kalau hari gini masih ada yang percaya dengan rayuan investasi ala nigerian scam ya kok keterlaluan banget gobloknya. Apalagi kalau nekat pesen pil biru perkasa karena percaya tawaran lewat email gak jelas. Kurang lebih itu yang dipahami generasi sekarang.

Kemudian saya tanya: lha kalau ternyata orang yang menyebarkan berita bohong itu sudah kita balas dengan informasi yang benar ternyata tetap ngeyel, annoyying, gimana dong? Ya langkah terbaik, laporkan kepada pihak yang memberikan layanan kepada ybs. mereka itu pasti punya policy administratif dan teknis untuk menangani keluhan abuse semacam itu. Kalau tidak mempan, ya sudah, hukum rimba. Gitu aja kok repot!

Lho, hukum rimba gimana? Ya elah Om. Di Mangga Dua juga banyak CD koleksi tools buat nge-hack resource yang dimiliki orang tersebut. Kita banjiri emailnya dengan sampah. Kita deface blognya. Kita drop database webnya. Kita racuni dengan virus trojan komputernya. Kalau perlu kita bajak saja account messengernya. Lagipula apa susahnya membobol kode rekening internet bankingnya. Kalau kita nggak mampu, di luar sana banyak kok yang mau kita bayar buat “menghajar” balik. Ini kan sanksi teknis?

Kurang lebih begitu jawaban mereka. Jawaban anak-anak generasi internet. Terus kita mau ngomong apa? Kalau besok-besok para pejabat RS OMNI, pengacaranya, jaksanya tau-tau rame-rame ke Polda melapor karena rekeningnya terhapus, emailnya mampet, websitenya dicoreti gambar kartun porno, jaringan komputernya down, databasenya hancur, kemudian semua sistem elektronik milik para investornya dihajar serangan DDOS ala botnet dari semua penjuru … mau apa coba? Mereka lupa kalau kita sekarang hidup di jaman Die Hard 4.

Paling setelah itu Facebook akan dipenuhi celotehan gegap gempita: RASAIN!

FINISH

Sudah baca ?!
Masih mau sok-sok an ?!
Renungkan dan cam kan itu......

--------------------------------------

oO0::::: Greetz and Thanks: :::::0Oo.
Tuhan YME
My Parents
SPYRO_KiD
K-159
lirva32

And Also My LuvLy :
..::.E.Z.R (The deepest Love I'v ever had..).::..

in memorial :
1. Monique (terima kasih atas semua kenangan terindah yang pernah kau berikan)
MAAFKAN ATAS SEMUA DOSA DAN SALAHKU
2. Dewi S.
3. W. Devi Amelia
4. S. Anna

oO0:::A hearthy handshake to: :::0Oo
~ Crack SKY Staff
~ Echo staff
~ antijasakom staff
~ jatimcrew staff
~ whitecyber staff
~ lumajangcrew staff
~ unix_dbuger, boys_rvn1609, jaqk, byz9991, bius, g4pt3k, anharku, wandi, 5yn_4ck, kiddies, bom2
~ arthemist, opt1lc, m_beben, gitulaw, luvrie, poniman_coy, ThePuzci, x-ace, newbie_z, petunia, jomblo.k, hourexs_paloer, cupucyber, kucinghitam, black_samuraixxx, ucrit_penyu, wendys182, cybermuttaqin
~ k3nz0, thomas_ipt2007, blackpaper, nakuragen, candra
~ whitehat, wenkhairu, Agoes_doubleb, diki
~ All people in SMAN 3
~ All members of spyrozone
~ All members of echo
~ All members of newhack
~ All members of jatimcrew
~ All members of Anti-Jasakom
~ All members of whitecyber
#e-c-h-o, #K-elektronik, #newhack, #Solohackerlink, #YF, #defacer, #manadocoding, #jatimcrew, #antijasakom, #whitecyber

0 komentar:

Categories

Stats

kumpulblogger